Beranda | Artikel
Keutamaan Thaharah
Rabu, 2 Oktober 2019

Bersama Pemateri :
Syaikh `Abdurrazzaq bin `Abdil Muhsin Al-Badr

Keutamaan Thaharah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Kifayatul Muta’abbid wa Tuhfatul Mutazahhid. Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 22 Muharram 1441 H / 22 September 2019 M.

Pembahasan halaman ke-30 pada kitab Kifayatul Muta’abbid wa Tuhfatul Mutazahhid.

Kajian Ilmiah Tentang Keutamaan Thaharah

Kita sampai pada perkataan beliau: Yaitu hadits Abu Malik Al-Asy’ari Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ – أَوْ تَمْلَأُ – مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ، وَالصَّلَاةُ نُورٌ ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

“Bersuci merupakan setengah dari keimanan, ucapan Alhamdulillah memenuhi timbangan seorang hamba, ucapan Subhanallah dan alhamdulillah keduanya memenuhi antara langit dan bumi, shalat merupakan cahaya, sedekah merupakan bukti nyata iman seorang hamba, sabar merupakan sinar dan Al-Qur’anul Karim merupakan hujjah bagi dirimu yang akan menolong dirimu atau sesuatu yang akan membinasakan engkau di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setiap manusia berusaha, maka diantara mereka ada yang berusaha untuk memerdekakan jiwa-jiwa mereka dan di antara mereka ada yang membinasakan jiwa-jiwa mereka.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya.

Kata Syaikh, hadits ini adalah hadits yang sangat agung, hadits yang sangat besar yang mengumpulkan berbagai macam jalan-jalan kebaikan. Dan hadits yang mulia ini termasuk ke dalam Jawami’ al-Kalim Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yaitu ucapan-ucapan yang singkat namun maknanya sangat luas dan sangat mencakup segala jalan-jalan kebaikan. Bahkan hadits yang mulia ini adalah diantara hadits yang sangat mencakup berbagai macam keutamaan amal-amal kebaikan. Dimana hadits tersebut disebutkan di dalamnya tentang berbagai macam amalan, berbagai macam ibadah yang beraneka ragam dan disertakan pula didalamnya tentang fadhilah atau keutamaan masing-masing amalan tersebut.

Disebutkan di dalamnya tentang keutamaan thaharah, disebutkan di dalam tentang keutamaan shalat, tentang keutamaan sedekah, keutamaan bersabar dan amal-amal yang lainnya.

Thaharah merupakan setengah keimanan

Kata Syaikh Hafidzahullah bahwa sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Thuhur merupakan setengah keimanan.” Penafsiran makna thuhur ada dua makna di kalangan para ulama. Makna yang pertama bahwasanya yang dimaksud dengan thuhur dalam hadits tersebut adalah mentauhidkan Allah, mengiklaskan segala macam amalan semata-mata hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala serta berlepas diri dari segala macam bentuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena sesungguhnya kalau seandainya seorang hamba tidak membersihkan dirinya dari kesyirikan kepada Allah dan tidak mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya karena Allah, maka amalan si hamba tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٥﴾

Dan sungguh telah diwahyukan kepada engkau wahai Muhammad dan kepada orang-orang sebelum engkau dari kalangan para Nabi dan Rasul, kalau seandainya engkau berbuat kesyirikan kepada Allah, niscaya hapuslah amalanmu dan engkau termasuk ke dalam orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar[39]: 65)

Ini adalah makna yang pertama. Adapun makna yang kedua dari makna thuhur adalah al-wuḍhu’ (dan ini adalah makna yang paling dekat dan tepat). Bahwasannya thuhur dalam hadits di atas artinya adalah al-wuḍhu’. Dan diantara perkara yang menguatkan makna yang kedua ini yaitu adanya riwayat yang lain yang datang di dalam sunan At-Tirmidzi dan yang lainnya di mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْوُضُوءِ شَطْرُ الْإِيمَانِ

“Berwudhu merupakan setengah dari keimanan.” (HR. Tirmidzi)

Kata beliau bahwa yang dimaksud dengan “iman” di dalam hadits tersebut adalah shalat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا كَانَ اللَّـهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ

Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (QS. Al-Baqarah[2]: 143)

Maknanya adalah “shalat kalian”. Allah tidak akan menyia-nyiakan shalat kalian. Dan wudhu’ dikatakan setelah shalat karena shalat seorang hamba tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali shalat yang dibangun di atas thaharah. Maka shalat yang dikerjakan dengan tanpa wudhu’ tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan setiap ibadah yang dikerjakan tidak dibangun di atas pondasi tauhid, maka ibadah tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Diantara dua faidah yang bisa kita ambil dari dua makna di atas -yang diisyaratkan oleh para ulama- menjelaskan kedudukan tauhid di dalam seluruh ibadah seorang hamba. Maka perkara tauhid (berlepas diri dari segala macam bentuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) di dalam seluruh ibadah yang kita kerjakan, kedudukannya seperti thaharah di dalam shalat-shalat kita. Maka sebagaimana shalat yang kita kerjakan tidak akan Allah terima dengan tanpa bersuci, tanpa wudhu dan tanpa thaharah.

Maka bisa kita katakan berkaitan dengan orang yang shalat dengan tanpa thaharah dia tidak melakukan shalat meskipun dia menunaikan rukun-rukun dan wajib-wajib yang lainnya tapi dia shalat dengan tanpa thaharah maka kita katakan shalatnya tidak sah. Karena yang namanya thaharah merupakan syarat diantara syarat sahnya shalat. Dan shalat seseorang tidak akan Allah terima dengan tanpa thaharah. Maka begitu pula seorang hamba yang dia beribadah kepada Allah dengan tanpa didasari tauhid, bisa kita katakan bahwasannya dia tidak beribadah secara hakikat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan dia bukan seorang hamba Allah secara hakikatnya. Karena seorang hamba dikatakan hamba yang sesungguhnya apabila dia memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ibadah yang tidak dibangun di atas pondasi tauhid, itu sama halnya seperti shalat yang tidak dibangun di atas wudhu’ atau bersuci.

Alhamdulillah memenuhi timbangan

Kata Syaikh, bahwa makna sabda Rasulullah, “Ucapan Alhamdulillah akan memenuhi timbangan seorang hamba.”

Di dalam sabda beliau tersebut terdapat penjelasan betapa besarnya pahala yang Allah berikan kepada seseorang yang memuji diriNya, yang mengucapkan Alhamdulillah.

Dan bahwasanya kalimat yang penuh berkah tersebut bisa memenuhi timbangan kebaikan seorang hamba. Karena seorang hamba dihari kiamat nanti akan ditegakkan baginya timbangan yang punya dua daun telinga. Dimana satu daun telinga timbangan tersebut diletakkan kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan. Dan bagian yang lain diletakkan amal-amal keburukan yang dia kerjakan. Maka “Alhamdulillah” akan memenuhi timbangan kebaikan seorang hamba. Maka di dalam hadits tersebut terdapat faidah bahwasanya kalimat tersebut sangat berat nilainya dalam timbangan kebaikan seorang hamba. Dan bahwasanya ucapan atau kalimat tersebut bisa memenuhi timbangan seorang hamba.

Didalam hadits yang lain Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ : سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ

“Ada dua kalimat yang sangat dicintai oleh Ar-Rahman, sangat ringan dalam lisan-lisan seorang hamba namun timbangannya sangat berat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala; Subhanallah wabihamdihi subhanallahil adzim.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang mulia ini terdapat anjuran serta motivasi bagi kita semuanya untuk senantiasa memperbanyak pujian kepada Allah untuk mengucapkan Alhamdulillah. Dan hendaknya seorang muslim bersungguh-sungguh untuk senantiasa memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan “alhamdu” itu artinya pujian bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tatkala kita mengucapkan Alhamdulillah artinya kita menetapkan kesempurnaan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah Dzat yang berhak untuk dipuji atas segala nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat Allah yang Maha Tinggi. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat yang berhak untuk dipuji atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita semuanya.

Ucapan Subhanallah dan Alhamdulillah Memenuhi Antara Langit dan Bumi

Kata Syaikh, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ – أَوْ تَمْلَأُ – مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Ucapan Subhanallah dan Alhamdulillah keduanya memenuhi antara langit dan bumi.”

Dua kalimat tersebut (Subhanallah walhamdulillah) sangat sering datang bergandengan di dalam nash-nash syariah. Baik dengan sifat Subhanallah walhamdulillah atau dengan bentuk Subhanallah wabihamdihi. Dan maknanya adalah Saya mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala seraya memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Yang menggabungkan antara tasbih (mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dari segala macam kekurangan dan menggabungkan dengan pujian yang merupakan sanjungan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala kesempurnaan yang Allah miliki. Maka tasbih artinya yaitu seorang hamba mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun alhamdu maknanya adalah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu dengan cara menetapkan segala macam sifat kesempurnaan bagi Allah. Maka menggabungkan antara Subhanallah dan Alhamdulillah merupakan penggabungan antara mensucikan Allah dari segala macam hal yang tidak layak bagi Allah, dari segala macam kekurangan-kekurangan, dari segala macam perkara yang menyerupai makhlukNya, kemudian kita tetapkan bagi Allah segala macam sifat kesempurnaan dengan menetapkan nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat Allah yang Maha Tinggi.

Maka dengan dua perkara ini seorang muslim meyakini dengan keyakinan yang benar di dalam masalah nama-nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan firman Allah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Bahwasanya tidak ada yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Dialah Allah Dzat Yang Maha Mendengar dan Dzat Yang Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura[42]: 11)

Simak pada menit ke-20:19

Downlod MP3 Ceramah Agama Tentang Keutamaan Thaharah


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/47765-keutamaan-thaharah/